Tak ada dikotomi (pemisahan) ilmu pengetahuan (kecuali ilmu sihir).

الثلاثاء، 18 مايو 2021

Teori belajar Kognitif dan implikasinya dalam pembelajaran

1. Pandangan Teori Belajar Kognitif 

Sekarang kita akan mengkaji tentang teori belajar kognitif, setelah sebelumnya kita telah membahas tentang teori belajar behavioristik. Teori belajar kognitif tentu berbeda dengan teori belajar behavioristik. Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Jika teori belajar behavioristik mempelajari proses belajar sebagai hubungan stimulus-respon, teori belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model perseptual. Teori belajar kognitif memandang bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak. 

Menurut teori kognitif, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak, terpisah-pisah, tapi melalui proses yang mengalir, bersambung dan menyeluruh (Siregar & Hartini, 2010). Menurut psikologi kognitif, belajar dipandang sebagai usaha untuk mangerti sesuatu. Usaha itu dilakukan secara aktif oleh peserta didik. Keaktifan itu dapat berupa mencari pengalaman, mencari informasi, memecahkan masalah, mencermati lingkungan, mempratekkan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu. Para psikolog kognitif berkeyakinan bahwa pengetahuan yang dimiliki sebelumnya sangat menentukan keberhasilan mempelajari informasi/pengetahuan yang baru. 

Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi/materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecilkecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna.

Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya.

Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalamanpengalaman sebelumnya.

Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan seperti: “Tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J. Piaget, Advance organizer oleh Ausubel, Pemahaman konsep oleh Bruner, Hirarkhi belajar oleh Gagne, Webteaching oleh Norman, dan sebagainya. Berikut akan diuraikan lebih rinci beberapa pandangan dari tokoh-tokoh tersebut:

1.1 Jean Piaget (1896-1980)

Anda sudah tidak asing lagi dengan tokoh ini bukan? Pemikirannya banyak sekali mewarnai praktik pendidikan yang biasa kita laksanakan. Piaget adalah seorang tokoh psikologi kognitif yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran para pakar kognitif lainnya. Menurut  Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf.

Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya pikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif. Collin, dkk (2012) menggambarkan pemikiran Piaget sebagai berikut: 

Pemikiran Piget.
Pemikiran Piget.
Gambar 1. Pemikiran Piget.

Menurut Piaget, proses belajar terdiri dari 3 tahap, yakni asimilasi, akomodasi dan equilibrasi (penyeimbangan). Asimilasi adalah proses pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam siatuasi yang baru. Sedangkan equilibrasi adalah penyesuaian kesinambungan antara asimilasi dan akomodasi (Siregar dan Nara, 2010). Pada umumnya, Apabila seseorang memperoleh kecakapan intelektual, maka akan berhubungan dengan proses mencari keseimbangan antara apa yang mereka rasakan dan mereka ketahui pada satu sisi dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena baru sebagai pengalaman atau persoalan. Bila seseorang dalam kondisi sekarang dapat mengatasi situasi baru, keseimbangan mereka tidak akan terganggu. Jika tidak, ia harus melakukan adaptasi dengan lingkungannya. 

Asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila seseorang mengalami konflik kognitif atau suatu ketidak seimbangan antara apa yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau dialaminya sekarang. Proses ini akan mempengaruhi strutur kognitif.

Untuk lebih jelasnya coba Anda perhatikan contoh berikut : dalam pembelajaran matematika seorang anak jika sudah memahami prinsip pengurangan maka ketika mempelajari prinsip pembagian akan terjadi proses pengintegrasian antara prinsip pengurangan yang sudah dikuasainya dengan prinsip pembagian (informasi baru).

Inilah yang disebut proses asimilasi. Jika anak tersebut diberikan soal-soal pembagian, maka situasi ini disebut akomodasi. Artinya, anak tersebut sudah dapat mengaplikasikan atau memakai prinsip-prinsip pembagian dalam situasi yang baru dan spesifik. Bagaimana apakah Anda sudah memiliki pemahaman tentang konsep asimilasi? Coba renungkan contoh lain sesuai dengan materi yang Anda ajarkan di kelas. 

Bagaimana, semakin jelaskah dengan pemaparan dalam kajian ini? Mari kita lanjutkan pembahasan materi ini. Agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuannya sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan proses penyeimbangan atau ekuilibrasi. Tanpa proses ekuilibrasi, perkembangan kognitif seseorang akan mengalami gangguan dan tidak teratur (disorganized). Hal ini misalnya tampak pada caranya berbicara yang tidak runtut, berbelit-belit, terputus-putus, tidak logis, dan sebagainya. Adaptasi akan terjadi jika telah terdapat keseimbangan di dalam struktur kognitif. Sebagaimana dijelaskan di atas, proses asimilasi dan akomodasi mempengaruhi struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari pengalaman, dan kedewasaan anak terjadi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu. Menurut Piaget, proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Pola dan tahap-tahap ini bersifat hirarkhis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat yaitu, tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun), tahap praoperasional (umur 2-7/8 tahun), tahap operasional konkret, dan tahap operasional formal. Singkatnya empat tahap tersebut terdapat di skema berikut: 

Skema Empat Tahap Perkembangan Kognitif Piaget

Gambar 2. Skema Empat Tahap Perkembangan Kognitif Piaget

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif terkait teori Thorndike. 

1.2 Jerome Bruner (1915-2016)

Tokoh selanjutnya dalam teori kognitif adalah Jerome Bruner. Beliau adalah 
seorang pengikut setia teori kognitif, khususnya dalam studi perkembangan fungsi kognitif. Ia menandai perkembangan kognitif manusia sebagai berikut:  
a) Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam
menanggapi rangsangan. 
b) Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan system
penyimpanan informasi secara realis. 
c) Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara
pada diri sendiri atau pada orang lain memalui kata-kata atau lambang tentang apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada diri sendiri. 
d) Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak diperlukan bagi perkembangan kognitifnya. 
e) Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif, karena bahasa merupakan alat komunikasi antara manusia. Untuk memhami konsep-konsep yang ada
diperlukan bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu
konsep kepada orang lain. 
f) Perkembangan kognitif ditandai dnegan kecakapan untuk mengemukakan
beberapa alternatif secara simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat
memberikan prioritas yang berurutan dalam berbagai situasi. 
Bruner mengembangkan toerinya yang disebut free discovery learning. Teori ini menjelaskan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, toeri, definisi, dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya. Peserta didik dibimbig secara induktif untuk mengetahui kebenaran umum. 
Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi (Dahar, 2008), asumsi pertama ialah perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interkatif.
Bruner percaya bahwa orang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara
aktif, perubahan tidak hanya terjadi pada lingkungan, tetapi juga dalam orang itu sendiri. Asumsi kedua ialah orang mengkonstruksi pengetahuannya dengan
menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan
sebelumnya. Bruner menyatakan untuk menjamin keberhasilan belajar, guru hendaknya jangan menggunakan penyajian yang tidak sesuai dengan tingkat kognitif peserta didik. Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu; enactive, iconic, dan symbolic (Lestari, 2014). 
a) Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. 
b) Tahap ikonik, seseorang memahami obyek-obyek atau dunianya melalui
gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan
perbandingan (komparasi). 
c) Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau
gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya
dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar
melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.
Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak sistem simbol.
Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan
sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak berarti ia tidak lagi menggunakan
sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran
merupakan salah satu bukti masih diperlukannya sistem enaktif dan ikonik
dalam proses belajar.
 

1.3 David Ausubel (1918-2008)

Salah satu pakar yang mengemukakan teori belajar kognitif adalah David Paulus  Ausubel. Beliau adalah seorang ahli psikologi pendidikan yang memberi penekanan pada belajar bermakna dan juga terkenal dengan teori belajar bermaknanya. 
Struktur kognitif merupakan struktur organisasional yang ada dalam ingatan
seseorang yang mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu unit konseptual. Teori kognitif banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi bahwa perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari struktur kognitif yang telah dimiliki peserta didik. Yang paling awal mengemukakan konsepsi ini adalah Ausubel. Menurut Ausubel, peserta didik akan belajar dengan baik jika isi pelajaran (instructional content) sebelumnya didefinisikan dan kemudian dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada peserta didik (advance orginizer). Dengan demikian, mempengaruhi pengaturan kemajuan belajar peserta didik. Advance orginizer adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada peserta didik. Advance orginizer dapat memberikan tiga macam manfaat, yaitu menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi yang akan dipelajari, berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara yang sedang dipelajari dan yang akan dipelajari, dan dapat membantu peserta didik untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah. Untuk itu, pengetahuan guru terhadap isi pembelajaran harus sangat baik, dengan demikian ia akan mampu menemukan informasi yang sangat abstrak, umum dan inklusif yang mewadahi apa yang sedang diajarkan. Guru harus memiliki logika berpikir yang baik, agar dapat memilah materi pembelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat serta mengurutkan materi tersebut dalam struktur yang logis dan mudah dipahami (Siregar & Nara, 2010). 
Ausubel mengklasifikasikan belajar dalam dua dimensi, yaitu: dimensi pertama
berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada
peserta didik melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut
cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi tersebut pada struktur kognitif yang telah ada (Dahar, 2006). Informasi yang dikomunikasikan pada peserta didik dalam bentuk belajar penerimaa yang menyejikan informasi itu dalam bentuk final ataupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan peserta didik untuk menemukan sendiri materi yang akan diajarkan. Dan pada tingkatan kedua, peserta didik mengaitkan informasi itu pada pengetahuan yang dimilikinya, hal inilah yang dinamakan dengan belajar bermakna. 

2. Implikasi Teori Kognitif dalam Kegiatan Pembelajaran 

Teori kognitif menekankan pada proses perkembangan peserta didik. Meskipun
proses perkembangan peserta didik mengikuti urutan yang sama, namun
kecepatan dan pertumbuhan dalam proses perkembangan itu berbeda. Dalam
proses pembelajaran, perbedaan kecepatan perkembangan mempengaruhi
kecepatan belajar peserta didik, oleh sebab itu interaksi dalam bentuk diskusi tidak dapat dihindarkan. Pertukaan gagasan menjadi tanda bagi perkembangan penalaran peserta didik. Perlu disadari bahwa penalaran bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan secara langsung, namun perkembangannya dapat disimulasikan.  Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar yang berkaian dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan proses internal. Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak digunakan. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi peserta didik. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip- prinsip sebagai berikut: 
a) Peserta didik bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses
berpikirnya 
b) Anak usia para sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan
baik, terutama jika menggunakan benda-benda konkrit. 
c) Keterlibatan peserta didik secara aktif dalam belajar amat
d) dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan peserta didik maka proses  asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik. 
e) Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan
pengalaman atau informasi baru dengan setruktur kognitif yang telah dimiliki si pelajar. 
f) Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks. 

g) Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar bermakna, informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik. Tugas guru adalah menunjukkan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui peserta didik. 

h) Adanya perbedaan individual pada diri peserta didik perlu diperhatiakan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar peserta didik. Perbedaan tersebut misalnya pada motivasi, persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal, dan sebagainya. 

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwasanya dalam teori belajar yang dikembangkan oleh bruner melalui 3 tahap, yaitu tahap enaktif, tahap ikonik dan tahap simbolik. Ketiga tahapan ini dilakukan pada kegiatan inti pembelajaran. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2014) menerapan teori Bruner untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik pada pembelajaran simetri lipat, menerapkan 3 tahapan kegiatan pembelajaran, yaitu tahap awal, tahap inti, dan tahap akhir. Strategi ini dipilih karena dipandang dapat mengoptimalisasikan interaksi semua unsur pembelajaran. Penerapan teori Bruner dalam pembelajaran dapat menjadikan peserta didik lebih mudah dibimbing dan diarahkan. Adapun tahapan dalam teori Bruner sebagai berikut:  

1) tahap enaktif; pada tahap ini pengetahuan dipelajari secara aktif dengan menggunakan bendabenda konkret atau dengan menggunakan situasi nyata,  

2) tahap ikonik; pada tahapa ini pengetahuan dipresentasikan dalam bentuk bayangan visual atau gambar yang menggambarkan kegiatan konkret yang terdapat pada tahap enaktif, dan  

3) tahap simbolik; pada tahap ini pengetahuan dipresentasikan dalam bentuk simbol-simbol.  

Kemampuan guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan intelekstual peserta didik sangat menetukan untuk dapat tidaknya suatu konsep dipelejari dan dipahami peserta didik.  Terdapat dua fase dalam menerapkan teori belajar Ausubel (Sulaiman, 1988), yaitu:


2.1 Fase perencanaan 

Pada fase perencanaan, guru melakukan beberapa hal seperti dibawah ini,

a) Menetapkan Tujuan Pembelajaran, tahapan pertama dalam kegiatan  perencanaan adalah menetapkan tujuan pembelajaran. Model Ausubel ini dapat digunakan untuk mengajarkan hubungan antara konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi. Model Ausubel tidak dirancang untuk mengajarkan konsep atau generalisasi, melainkan untuk mengajarkan “Organized bodies of content” yang memuat bermacam konsep dan generalisasi. 

b) Mendiagnosis latar belakang pengetahuan peserta didik, model Ausubel ini meskipun dirancang untuk mengajarkan hubungan antar konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi dan tidak untuk mengajarkan bentuk materi pengajaran itu sendiri, tetapi cukup fleksibel untuk dipakai mengajarkan konsep dan generalisasi, dengan syarat guru harus menyadari latar belakang pengetahuan peserta didik, Efektivitas penggunaan model ini akan sangat tergantung pada sensitivitas guru terhadap latar belakang pengetahuan peserta didik, pengalaman peserta didik dan struktur pengetahuan peserta didik. Latar belakang pengetahuan peserta didik dapat diketahui melalui pretes, diskusi atau pertanyaan. 

c) Membuat struktur materi, membuat struktur materi secara hierarkis merupakan salah satu pendukung untuk melakukan rekonsiliasi integratif dari teori Ausubel. 

d) Memformulasikan Advance Organizer. Advance organizer dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 

1) mengkaitkan atau menghubungkan materi pelajaran dengan struktur pengetahuan peserta didik. 

2) mengorganisasikan materi yang dipelajari peserta didik  

2.2 Fase Pelaksanaan 

Setelah fase perencanaan, guru menyiapkan pelaksanaan dari model Ausubel ini. Untuk menjaga agar peserta didik tidak pasif maka guru harus dapat mempertahankan adanya interaksi dengan peserta didik melalui tanya jawab, memberi contoh perbandingan dan sebaginya berkaitan dengan ide yang disampaikan saat itu Guru hendaknya mulai dengan advance organizer dan menggunakannya hingga akhir pelajaran sebagai pedoman untuk mengembangkan bahan pengajaran.  Langkah berikutnya adalah menguraikan pokok-pokok bahan menjadi lebih terperinci melalui diferensiasi progresif. Setelah guru yakin bahwa peserta didik mengerti akan konsep yang disajikan maka ada dua pilihan langkah berikutnya yaitu:  

a) Menghubungkan atau membandingkan konsep-konsep itu melalui rekonsiliasi integrative dan  

b) Melanjutkan dengan difernsiasi progresif sehingga konsep tersebut menjadi lebih luas.  


Sumber. Modul Pendidikan Profesi Guru. Modul 1. Konsep Dasar Ilmu Pendidikan oleh Isniatun Munawaroh, M.Pd.   










ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق

Tag Terpopuler