1. Pengertian Karakteristik Peserta Didik
Apa itu karakteristik peserta didik? Karakteristik berasal dari kata karakter yang berarti ciri, tabiat, watak, dan kebiasaan yang dimiliki oleh seseorang yang sifatnya relatif tetap. Karakteristik peserta didik dapat diartikan keseluruhan pola kelakukan atau kemampuan yang dimiliki peserta didik sebagai hasil dari pembawaan dan lingkungan, sehingga menentukan aktivitasnya dalam mencapai cita-cita atau tujuannya. Informasi terkait karakteristik peserta didik sangat diperlukan untuk kepentingan-kepentingan dalam perancangan pembelajaran. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ardhana dalam Asri Budiningsih (2017: 11) karakteristik peserta didik adalah salah satu variabel dalam desain pembelajaran yang biasanya didefinisikan sebagai latar belakang pengalaman yang dimiliki olehpeserta didik termasuk aspek-aspek lain yang ada pada diri mereka seperti
kemampuan umum, ekspektasi terhadap pembelajaran dan ciri-ciri jasmani serta emosional siswa yang memberikan dampak terhadap keefektifan belajar.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemahaman atas karakteristik peserta didik dimaksudkan untuk mengenali ciri-ciri dari setiap peserta didik yang nantinya akan menghasilkan berbagai data terkait siapa peserta didik dan sebagai informasi penting yang nantinya dijadikan pijakan dalam menentukan berbagai metode yang optimal guna mencapai keberhasilan kegiatan pembelajaran.
2. Ragam Karakteristik Peserta Didik
Uraian yang akan disajikan berikut ini memaparkan tentang pentingnya dan
ragam/jenis karakteristik peserta didik. Suatu proses pembelajaran akan dapat
berlangsung secara efektif atau tidak, sangat ditentukan oleh seberapa tinggi
tingkat pemahaman pendidik tentang karakteristik yang dimiliki peserta didiknya.
Pemahaman karakteristik peserta didik sangat menentukan hasil belajar yang
akan dicapai, aktivitas yang perlu dilakukan, dan assesmen yang tepat bagi
peserta didik. Atas dasar ini sebenarnya karakteristik peserta didik harus menjadi perhatian dan pijakan pendidik dalam melakukan seluruh aktivitas pembelajaran.
Karakteristik peserta didik meliputi: etnik, kultural, status sosial, minat,
perkembangan kognitif, kemampuan awal, gaya belajar, motivasi, perkembangan emosi, perkembangan sosial, perkembangan moral dan spiritual, dan perkembangan motoric.
Agar Anda memperoleh gambaran yang jelas tentang ragam karakteristik peserta didik tersebut, maka ikuti paparan berikut:
a. Etnik
Negara Indonesia merupakan negara yang luas wilayahnya dan kaya akan
etniknya. Namun berkat perkembangan alat transpotasi yang semakin modern, maka seolah tidak ada batas antar daerah/suku dan juga tidak ada kesulitan menuju daerah lain untuk bersekolah, sehingga dalam sekolah dan kelas tertentu terdapat multi etnik/suku bangsa, seperti dalam satu kelas kadang terdiri dari peserta didik etnik Jawa, Sunda, Madura, Minang, dan Bali, maupun etnik lainnya.
Implikasi dari etnik ini, pendidik dalam melakukan proses pembelajaran perlu
memperhatikan jenis etnik apa saja yang terdapat dalam kelasnya. Data tentang keberagaman etnis di kelasnya menjadi informasi yang sangat berharga bagi pendidik dalam menyelenggarakan proses pembelajaran. Seorang pendidik yang menghadapi peserta didik hanya satu etnik di kelasnya, tentunya tidak sesulit yang multi etnik. Contoh Pak Ardi seorang pendidik di kelas 6 Sekolah Dasar yang peserta didiknya terdiri dari etnik Jawa semua atau Sunda semua, tentunya tidak sesulit ketika menghadapi peserta didik dalam satu kelas yang multi etnik. Jika Pak Ardi melakukan proses pembelajaran dengan peserta didik yang multi etnik maka dalam melakukan interaksi dengan peserta didik di kelas tersebut perlu menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh semua peserta didiknya.
Kemudian ketika memberikan contoh-contoh untuk memperjelas tema yang
sedang dibahasnya juga contoh yang dapat dimengerti dan dipahami oleh
semuanya.
b. Kultural
Meskipun kita telah memiliki jargon Sumpah Pemuda yang mengakui bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia, berbangsa yang satu bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Namun peserta didik kita sebagai anggota suatu masyarakat memiliki budaya tertentu dan sudah barang tentu menjadi pendukung budaya tersebut. Budaya yang ada di masyarakat kita sangatlah beragam, seperti kesenian, kepercayaan, norma, kebiasaan, dan adat istiadat. Peserta didik yang kita hadapi mungkin berasal dari berbagai daerah yang tentunya memiliki budaya yang berbeda-beda sehingga kelas yang kita hadapi kelas yang multikultural.
Implikasi dari aspek kultural dalam proses pembelajaran ini pendidik dapat
menerapkan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural menurut Choirul (2016: 187) memiliki ciri-ciri:
1) Tujuannya membentuk “manusia budaya” dan menciptakan manusia berbudaya (berperadaban).
2). Materinya mangajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural).
3) metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan
dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalisme).
4).Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi aspek persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Atas dasar definisi dan ciri-ciri pendidikan multikultural tersebut di atas, maka pendidik dalam melakukan proses pembelajaran harus mampu mensikapi
keberagaman budaya yang ada di sekolahnya/kelasnya. Misalnya Pak Irwan
seorang pendidik disalah satu SMA ketika menjelaskan materi pelajaran dan
dalam memberikan contoh-contoh perlu mempertimbangkan keberagaman
budaya tersebut, sehingga apa yang disampaikan dapat diterima oleh semua
peserta didik, atau tidak hanya berlaku untuk budaya tertentu saja.
c. Status Sosial
Manusia diciptakan Tuhan dengan diberi rizki seperti berupa pekerjaan,
kesehatan, kekayaan, kedudukan, dan penghasilan yang berbeda- beda. Kondisi seperti ini juga melatar belakangi peserta didik yang ada pada suatu kelas atau sekolah kita. Peserta didik pada suatu kelas biasanya berasal dari status sosialekonomi yang berbeda-beda.
Dilihat dari latar belakang pekerjaan orang tua, di kelas kita terdapat peserta didik yang orang tuanya wira usahawan, pegawai negeri, pedagang, petani, dan juga mungkin menjadi buruh. Dilihat dari sisi jabatan orang tua, ada peserta didik yang orang tuanya menjadi pejabat seperti presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, kepala desa, kepala kantor atau kepala
perusahaan, dan Ketua RT.
Disamping itu ada peserta didik yang berasal dari keluarga ekonomi mampu, ada yang berasal dari keluarga yang cukup mampu, dan ada juga peserta didik yang berasal dari keluarga yang kurang mampu.
Peserta didik dengan bervariasi status ekonomi dan sosialnya menyatu untuk
saling berinteraksi dan saling melakukan proses pembelajaran. Perbedaan ini
hendaknya tidak menjadi penghambat dalam melakukan proses pembelajaran.
Namun tidak dapat dipungkiri kadang dijumpai status sosial ekonomi ini menjadi penghambat peserta didik dalam belajar secara kelompok. Implikasi dengan adanya variasi status-sosial ekonomi ini pendidik dituntut untuk mampu bertindak adil dan tidak diskriminatif. Contohnya dalam proses pembelajaran pendidik jangan sampai membeda- bedakan atau diskriminatif dalam memberikan
pelayanan kepada peserta didiknya, dan juga dalam memberikan tugas-tugas
yang sekiranya mampu diselesaikan oleh semua peserta didik dengan latar
belakang ekonomi sosial yang sangat beragam.
d. Minat
Minat dapat diartikan suatu rasa lebih suka, rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas. Hurlock (1990: 114) menyatakan bahwa minat merupakan suatu sumber motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan yang dipilihnya.
Apabila seseorang melihat sesuatu yang memberikan manfaat, maka dirinya akan memperoleh kepuasan dan akan berminat pada hal tersebut. Lebih lanjut Sardiman, (2011: 76) menjelaskan bahwa minat sebagai suatu kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Oleh karena itu apa yang dilihat seseorang sudah tentu akan membangkitkan minatnya sejauh apa yang dilihat itu mempunyai hubungan dengan kepentingan orang tersebut.
Atas dasar hal tersebut sebenarnya minat seseorang khususnya minat belajar
peserta didik memegang peran yang sangat penting. Sehingga perlu untuk terus ditumbuh kembangkan sesuai dengan minat yang dimiliki seorang peserta didik.
Namun sebagaimana kita ketahui bahwa minat belajar peserta didik tidaklah sama, ada peserta didik yang memiliki minat belajarnya tinggi, ada yang sedang, dan bahkan rendah.
Untuk mengetahui apakah peserta didik memiliki minat belajar yang tinggi atau tidak sebenarnya dapat dilihat dari indikator minat itu sendiri. Indikator minat meliputi: perasaan senang, ketertarikan peserta didik, perhatian dalam belajar, keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran, manfaat dan fungsi mata pelajaran. Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas maka akan diuraikan dalam paparan berikut.
Perasaan senang, seseorang peserta didik yang memiliki perasaan senang atau
suka terhadap mata pelajaran tertentu akan memperlihatkan tindakan yang
bersemangat terhadap hal tersebut. Contohnya, peserta didik yang gemar dengan mata pelajaran Matematika, maka peserta didik tersebut akan merasa bersemangat dan terus mempelajari ilmu yang berkaiatan dengan Matematika,
tanpa ada perasaan terpaksa dalam belajar. Ketertarikan peserta didik, ini
berkaitan dengan daya gerak yang mendorong peserta didik untuk cenderung
merasa tertarik pada orang, benda, kegiatan, dapat berupa pengalaman yang
dirangsang oleh kegiatan itu sendiri, Perhatian dalam belajar, perhatian atau
konsentrasi dapat diartikan terpusatnya mental seseorang terhadap suatu objek. Peserta didik yang memiliki minat terhadap objek tertentu, maka peserta didik tersebut dengan sendirinya peserta didik tersebut memperhatikan objek tersebut.
Contohnya peserta didik yang memiliki minat pada seni musik maka peserta didik tersebut akan memperhatikan ketika terdengar bunyi musik, bahkan gemar mendatangi konser-konser music. Peserta didik merasa lebih mudah dan bersemangat dalam belajar jika diiringi dengan alunan music.
Keterlibatan belajar, keterlibatan atau partisipasi peserta didik dalam belajar
sangat penting, karena apabila peserta didik terlibat aktif dalam belajar maka
hasilnya tentu akan baik. Ketelibatan belajar akan muncul manakala tertarik pada objek yang dipelajari yang kemudian merasa senang dan tertarik untuk melakukan kegiatan dari objek tersebut. Manfaat dan fungsi mata pelajaran, jika manfaat dari apa yang dipelajari oleh peserta didik dapat diketahui dan dipahami secara jelas, maka akan menumbuhkan motivasi peserta didik. Manfaat dari mata pelajaran tertentu sebenarnya tidak hanya untuk sekarang tapi bisa manfaat untuk masa mendatang, atau manfaat bukan hanya saat di sekolah tetapi bisa manfaat ketika sudah bekerja atau dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, minat belajar merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran, dan perlu untuk selalu ditingkatkan. Implikasinya dalam proses pembelajaran terutama menghadapi tantangan abad 21, pendidik dapat
menerapkan berbagai model pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable
learning), menantang dan inovatif, menyampaikan tujuan/manfaat mempelajari suatu tema/mata pelajaran, serta menggunakan beragam media pembelajaran.
Contoh aplikasi dalam pembelajaran, Pak Ardi seorang pendidik dari salah satu sekolah A, hari itu sudah disepakti membahas tema H, Pada saat melakukan proses pembelajaran, diawal pembelajaran terlebih dahulu mengemukakan tema yang akan dipelajarinya, menyampaikan tujuan pembelajaran yang diharapkan dimiliki, dan manfaat yang peserta didik peroleh setelah mempelajari tema H.
Kemudian untuk melihat kemampuan awal peserta didiknya dilakukan pre tes/tes awal terlebih dahulu. Setelah tahap-tahap tersebut dilakukan kemudian Pak Ardi melakukan tahap inti yaitu membahas tema H melalui media permainan ular tangga yang menjadi kesukaannya peserta didik tentang materi H yang telah disiapkan (Belajar melalui media permainan Ular Tangga). Suasana kelas tampak antusias, aktif, dan menyenangkan. Setelah materi dipahami dan waktunya cukup maka Pak Ardi mengakhiri pelajaran dengan kegiatan penutup.
Berdasarkan ilustrasi tentang apa yang dilakukan Pak Ardi tersebut, peserta didik tumbuh minatnya untuk belajar. Dengan dimilikinya minat belajar yang tinggi oleh peserta didik maka hasil belajar tentunya akan menjadi lebih baik.
a. Perkembangan Kognitif
Tingkat perkembangan kognitif yang dimiliki peserta didik akan mempengaruhi guru dalam memilih dan menggunakan pendekatan pembelajaran, metode, media, dan jenis evaluasi. Taman Kanak-kanak yang peserta didiknya sekitar berumur 5 - 6 tahun, sudah tentu berbeda pendekatan, metode, dan media yang digunakan ketika menghadapi peserta didik. Sekolah Dasar yang peserta didiknya berusia 7 - 11 tahun, dan peserta didik Sekolah Menengah Pertama yang usianya berkisar 12-14 tahun dan juga peserta didik Sekolah Menengah Atas atau Sekolah Menengah Kejuruan, yang umumnya berusia 15-17 tahun, karena dilihat dari perkembangan intelektualnya jelas berbeda. Menurut Piaget perkembangan intelektual anak usia Taman Kanak-Kanak berada pada taraf pra operasional konkrit sedangkan peserta didik Sekolah Dasar berada pada tahap operasional
konkrit, dan peserta didik Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah
Atas atau Sekolah Menengah Kejuruan pada tahap operasional formal. Tahap-tahap perkembangan intelektual peserta didik menurut Piaget dalam Masganti
(2012: 83) secara lengkap dapat disajikan sebagai berikut:
Berdasarkan teori perkembangan dari Piaget tersebut, selanjutnya dapat diketahui tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual.
Ruseffendi dalam Dwi Siswoyo, dkk. (2013: 101) menyebutkan sebagai berikut:
1). Bahwa perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya setiap manusia akan mengalami urutan tersebut dan dengan urutan yang sama;
2). Bahwa tahap-tahap perkembangan didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokkan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual.
3) Bahwa gerak melalui melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi). Uraian lebih lanjut tentang perkembangan koginitif dari Piaget dapat Anda dicermati pada kegiatan belajar 3 tentang Teori Belajar Kognitif.
b. Kemampuan/pengetahuan awal
Selanjutnya kita akan mengkaji tentang kemampuan/pengetahuan awal peserta didik. Kemampuan awal atau entry behavior menurut Ali (1984: 54) merupakan keadaan pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki terlebih dahulu oleh peserta didik sebelum mempelajari pengetahuan atau keterampilan baru.
Pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki terlebih dahulu maksudnya
adalah pengetahuan atau keterampilan yang lebih rendah dari apa yang akan
dipelajari. Contohnya Siswa sebelum mempelajari tentang pembagian maka siswa tersebut harus mengusai terlebih dahulu tentang konsep pengurangan.
Kemampuan awal bagi peserta didik akan banyak membawa pengaruh terhadap hasil belajar yang dicapainya. Oleh karena itu seorang pendidik harus mengetahui kemampuan awal peserta didiknya. Jika kemampuan awal peserta didik telah diketahui oleh pendidik, maka pendidik tersebut akan dapat menetapkan dari mana pembelajarannya akan dimulai. Kemampuan awal peserta didik bersifat individual, artinya berbeda antara peserta didik satu dengan lainnya, sehingga untuk mengetahuinya juga harus bersifat individual.
Cara untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik dapat dilakukan melalui teknik tes yaitu pre tes atau tes awal dan teknik non tes seperti wawancara. Melalui wawancara dan tes awal maka kemampuan awal peserta didik dapat diketahui.
Kemampuan menjawab tes awal dapat dijadikan dasar untuk menetapkan materi pembelajaran. Sebagai contoh: Ardi seorang pendidik tingkat Sekolah Dasar, ketika akan melaksanakan proses pembelajaran topik tentang darah, diawali dengan melakukan tes awal/pre tes terlebih dahulu. Setelah peserta didik menjawab soal-soal yang diberikan akan terlihat soal-soal mana yang bisa dijawab dengan baik dan soal-soal mana yang tidak dapat dijawab dengan baik. Misalnya saja soal yang membahas golongan darah dan fungsi darah sudah dapat dijawab dengan baik, namun peserta didik belum mampu menjawab soal-soal yang berkaitan dengan komponen-komponen darah, proses peredaran darah, dan penyakit yang mempengaruhi peredaran darah. Atas dasar data ini maka Pak Ardi dalam melakukan pembelajarannya difokuskan pada komponen- komponen darah, proses peredaran darah, dan penyakit yang mempengaruhi peredaran darah, sedangkan golongan darah dan fungsi darah tidak perlu dibahas detail lagi.
Di samping hal tersebut di atas untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik dapat dilakukan melalui analisis instruksional/pembelajaran. Dalam melakukan analisis pembelajaran guru harus menentukan hierarkhi kemampuan yang akan dicapainya. Kemampuan yang lebih rendah itulah sebagai kemampuan awalnya (entry behavior). Contohnya saat Pak Yudi akan melakukan pembelajaran tentang topik darah, hierarkhi kemampuan yang akan dicapai peserta didik yaitu siswa dapat menjelaskan darah, golongan darah, komponen darah, fungsi darah, dan penyakit yang mempengaruhi peredaran darah. Berdasarkan hierarkhi kemampuan ini maka kemampuan menjelaskan pengertian darah akan menjadi kemampuan awal yang harus dimiliki ketika akan membahas golongan darah, dan seterusnya.
c. Gaya belajar
Gaya belajar menurut Masganti (2012: 49) didefinisikan sebagai cara yang
cenderung dipilih seseorang untuk menerima informasi dari lingkungan dan
memproses informasi tersebut. DePorter dan Hemacki dalam Masganti (2012; 49) gaya belajar adalah kombinasi dari cara menyerap, mengatur dan mengolah informasi. Dari dua pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa gaya belajar adalah cara yang cenderung dipilih/digunakan oleh peserta didik dalam menerima, mengatur, dan memproses informasi atau pesan dari komunikator/pemberi informasi. Gaya belajar peserta didik merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam melakukan proses pembelajaran karena dapat mempengaruhi proses dan hasil belajarnya. Gaya belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu visual, auditif, dan kinestetik. Hal ini juga diungkapkan oleh Connell (dalam Yaumi:2013: 125) yaitu visual learners, auditory learners, dan kinesthetic learners.
Pertama, peserta didik visual yaitu peserta didik yang belajarnya akan mudah dan baik jika melalui visual/penglihatan. Atau dengan perkataan lain modalitas penglihatan menjadi modal utama bagi peserta didik yang memiliki gaya belajar ini. Peserta didik kelompok ini memiliki kesulitan jika pembelajaran dilakukan melalui presentasi verbal tanpa disertai gambar-gambar atau simbol visual. Peserta didik bergaya belajar visual memiliki kekuatan visual, sehingga seorang pendidik ketika melakukan proses pembelajaran perlu menggunakan strategi pembelajaran dan media yang dapat mempermudah proses belajar mereka. Misalnya guru ketika melakukan proses pembelajaran dapat menggunakan media visual seperti: gambar, poster, diagram, handout, powerpoint, peta konsep, bagan, peta, film, video, multimedia, dan televisi. Di samping itu peserta didik dapat diajak untuk melakukan observasi/mengunjungi ke tempat-tempat seperti: museum dan
tempat-tempat peninggalan sejarah. Kegiatan lainnya dapat juga mengajak
peserta didik untuk membaca buku-buku yang berilustrasi visual, menggunakan warna untuk menandai hal-hal penting dari isi bacaan.
Kedua, Peserta didik auditori, yaitu mereka yang mempelajari sesuatu akan
mudah dan sukses melalui pendengaran. Alat dria pendengaran merupakan modal utama bagi peserta didik bergaya belajar ini. Peserta didik yang bergaya belajar auditori akan menyukai penyajian materi pembelajarannya melalui ceramah dan diskusi. Mereka juga memiliki kekuatan mendengar sangat baik, senang mendengar dan kemampuan lisan sangat hebat, senang berceritera, mampu
mengingat dengan baik materi yang didiskusikan, mengenal banyak lagu dan
bahkan dapat menirukannya secara cepat dan lengkap. Namun demikian peserta didik yang bertipe belajar auditori mudah kehilangan konsentrasi ketika ada suarasuara ribut di sekitarnya, tidak suka pada tugas membaca, dan mereka tidak suka pada jumlah kelompok yang anggotanya terlalu besar. Oleh karena itu pendidik dalam melakukan proses pembelajaran selain melakukan presentasi/ceramah juga dapat:
1) menggunakan media rekaman seperti kaset audio/CD audio
pembelajaran,
2) peserta didik diajak untuk berpartisipasi dalam diskusi,
3) upayakan suasana belajar jauh dari kebisingan atau keributan, dan
4) dapat menggunakan musik untuk mengajarkan suatu topik/materi pelajaran tertentu.
Ketiga, Peserta didik dengan gaya belajar kinestetik, adalah peserta didik yang melakukan aktivitas belajarnya secara fisik dengan cara bergerak,
menyentuh/meraba, dan melakukan. Peserta didik tipe belajar melalui anggota
tubuhnya atau menggunakan fisik lebih banyak dari pada melihat dan
mendengarkan, seperti senang bergerak/berpindah ketika belajar, mengoyang-goyangkan kaki, tangan, kepala, gemar/suka menulis dan mengerjakan sesuatu
dengan tangannya, banyak menggunakan bahasa non verbal/bahasa tubuh, suka menyentuh sesuatu yang dijumpainya. Sebaliknya peserta didik yang bergaya belajar kinestetik sulit berdiam diri dalam waktu lama, sulit mempelajari sesuatu yang abstrak, seperti rumus- rumus, dan kurang mampu menulis dengan rapi. Oleh karena itu jika pendidik menghadapi peserta didik bergaya belajar kinestetik maka dalam proses pembelajarannya
1) dapat menggunakan objek nyata untuk belajar konsep baru, dan
2) mengajak peserta didik untuk belajar mengeksplorasi lingkungan.
Menentukan peserta didik bergaya belajar visual, auditori, atau kinestetik memang tidaklah mudah. Namun guru perlu mengetahui gaya belajar yang dimiliki peserta didiknya. Connel (dalam Yaumi 2013: 127) memberikan cara dengan menggunakan angket Gaya Belajar Anak. Dalam angket ini peserta didik diberikan sepuluh pertanyaan yaitu
1). Bagaimana kebiasaan anda dalam belajar sesuatu yang baru?
2). Apa yang biasa anda lakukan di dalam rumah pada waktu senggang?
3) Apa yang biasa anda lakukan pada akhir pekan?,
4). Bagaimana cara yang terbaik bagi anda dalam mengingat nomor telepon, 5). Apa yang anda perhatikan ketika menonton film?,
6). Ketika anda membaca bukju ceritera apa yang paling diperhatikan?
7). Bagaimana anda menceriterakan kepada seseorang tentang binatang yang luar biasa yang pernah anda lihat?
8). Saya baru memahami sesuatu itu bagus sekali setelah saya ....
9) salah satu kebiasaan saya untuk menghabiskan waktu adalah ....
10). Ketika saya bertemu dengan orang baru, saya biasa mengingat....
Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut akan diketahui kecenderungan gaya
belajar yang dimilikinya. Dengan diketahuinya gaya belajar yang dimiliki peserta didik, maka akan berimplikasi terhadap model pembelajaran, strategi, metode, dan media pembelajaran yang akan digunakan. Contoh, Bu Santi sebagai guru disuatu kelas memiliki peserta didik 30, dari jumlah tersebut diketahui ada 2 jenis gaya belajar yang dominan dimiliki peserta didiknya yaitu 18 peserta didik yang bergaya belajar visual dan 12 peserta didik bergaya belajar auditori. Bu Santi akan lebih tepat jika dalam melakukan pembelajarannya tidak klasikal tetapi kelompok, yaitu kelompok peserta didik yang dominan bergaya visual dan kelompok peserta didik yang dominan bergaya belajar auditori. Kelompok belajar yang dominan bergaya belajar visual pembelajarannya bisa dilakukan misal melalui multimedia pembelajaran dan membaca modul atau buku paket, sedangkan yang dominan bergaya belajar auditori pembelajarnnya diputarkan CD audio pembelajaran, dan mendiskusikan suatu topik secara verbal.
Perlu diingat bahwa gaya belajar seseorang tidAk terkotak-kotak secara terpisah, namun gaya belajar sesorang merupakan gabungan dari beberapa gaya belajar meskipun terkadang ada salah satu yang lebih dominan.
a. Motivasi
Motivasi telah banyak didefinisikan oleh para ahli, diantaranya oleh Wlodkowski (dalam Suciati, 1994:41) yaitu suatu kondisi yang menyebabkan atau menimbulkan perilaku tertentu, dan yang memberi arah dan ketahanan
(persistence) pada tingkah laku tersebut. Motivasi kadang timbul dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi instrinsik dan kadang motivasi itu muncul karena faktor dari luar dirinya sendiri (motivasi ekstrinsik). Disamping itu motivasi peserta didik dalam belajar kadang tinggi, sedang, atau bahkan rendah. Motivasi belajar yang tinggi dari peserta didik akan tampak dari ketekunannya dalam belajar yang tidak mudah patah untuk mencapai keberhasilan meskipun banyak rintangan yang dihadapinya. Motivasi yang tinggi dari peserta didik dapat menggiatkan aktivitas belajarnya. Seseorang memiliki motivasi tinggi atau tidak dalam belajarnya dapat terlihat dari tiga hal:
1) kualitas keterlibatannya,
2) perasaan dan keterlibatan afektif peserta didik,
3) upaya peserta didik untuk senantiasa memelihara/menjaga motivasi yang dimiliki.
Seorang pendidik pada abad 21 ini perlu memahami motivasi belajar peserta
didiknya dan bahkan harus selalu dapat menjadi motivator peserta didiknya,
karena pada abad 21 ini banyak godaan di sekeliling peserta didik seperti game pada computer personal, dan game online, dan film-film pada pesawat televisi ataupun lewat media massa atau sosial lainnya. Upaya yang dapat dilakukan pendidik untuk memotivasi peserta didik diantaranya: menginformasikan pentingnya/manfaat mempelajari suatu topik tertentu, menginformasikan tujuan/kompetensi yang akan dicapai dari proses pembelajaran yang dilakukannya, memberikan humor, menggunakan media pembelajaran, dan juga memberi reward/hadiah/pujian. Misal Pak Fikri selaku pendidik Sekolah Dasar, meminta kepada peserta didiknya untuk belajar secara berkelompok mendiskusikan suatu topik. Setelah berdiskusi masing-masing kelompok untuk melaporkan hasil diskusinya, misal kelompok 1 diminta melaporkan / mempresentasikan hasil diskusinya lebih dahulu. Setelah presentasi selesai guru kemudian memberi pujian dengan mengatakan bagus sekali presentasi kalian.
Kemudian giliran kelompok berikutnya, setelah presentasi selesai Pak Fikri
kembali memuji peserta didiknya dengan mengatakan hebat, kelompok kalian
hebat. Dari tindakan guru seperti itu tentunya peserta didiknya akan menjadi lebih semangat atau termotivasi dalam belajarnya.
b. Perkembangan emosi
Emosi telah banyak didefinisikan oleh para ahli, diantaranya Kartono dalam
Sugihartono (2013: 20) mendefinisikan emosi sebagai tergugahnya perasaan yang disertai dengan perubahan-perubahan dalam tubuh, misalnya otot menegang, dan jantung berdebar. Dengan emosi peserta didik dapat merasakan senang/gembira, aman, semangat, bahkan sebaliknya peserta didik merasakan sedih, takut, dan sejenisnya. Emosi sangat berperan dalam membantu mempercepat atau justru memperlambat proses pembelajaran. Emosi juga berperan dalam membantu proses pembelajaran tersebut menyenangkan atau bermakna. Goleman, (dalam Sugihartono, 2013: 21) menyatakan bahwa tanpa keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak kurang mampu “merekatkan” pelajaran dalam ingatan. Suasana emosi yang positif atau menyenangkan atau tidak menyenangkan membawa pengaruh pada cara kerja struktur otak manusia dan akan berpengaruh pula pada proses
dan hasil belajar. Atas dasar hal ini pendidik dalam melakukan proses
pembelajaran perlu membawa suasana emosi yang senang/gembira dan tidak
memberi rasa takut pada peserta didik. Untuk itu bisa dilakukan dengan model pembelajaran yang menyenangkan (enjoy learning), belajar melalui permainan (misalnya belajar melalui bermain monopoli pembelajaran, ular tangga pembelajaran, kartu kwartet pembelajaran) dan media sejenisnya.
c. Perkembangan sosial
Perkembangan sosial menurut Hurlock, (1998: 250) adalah kemampuan anak
untuk berinteraksi dengan lingkungannya, bagaimana anak tersebut memahami keadaan lingkungan dan mempengaruhinya dalam berperilaku baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Dari pernyataan ini dapat ditegaskan bahwa perkembangan sosial peserta didik merupakan kemampuan peserta didik untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma dan tradisi yang berlaku pada kelompok atau masyarakat, kemampuan untuk saling berkomunikasi dan kerja sama. Perkembangan sosial peserta didik dapat diketahui/dilihat dari tingkatan kemampuannya dalam berinteraksi dengan orang lain dan menjadi masyarakat di lingkungannya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial yaitu keluarga,
kematangan, teman sebaya, sekolah, dan status sosial ekonomi. Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas kelima faktor tersebut akan dipaparkan pada bagian berikut.
1) Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh
terhadap aspek-aspek perkembangan anak termasuk aspek perkembangan
sosialnya. Keluarga merupakan tempat yang baik bagi sosialisasi anak karena
sebagian besar waktu yang ada dihabiskan anak di dalam keluarga. Anggota
keluarga terutama orang tua akan dijadikan model bagi anaknya. Oleh karena
itu orang tua perlu menerapkan pola asuh yang tepat kepada anaknya.
2) Kematangan, untuk dapat bersosialisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik dan psikis sehingga mampu mempertimbangkan proses sosial.
3) Pengaruh teman sebaya, Teman sebaya menjadi orang-orang penting dalam sosialisasi anak karena interaksi mereka membuat anak mengerti mengenai hubungan sosial yang lebih dari pada hubungan dengan anggota keluarganya. Biasanya pendapat teman sebaya sangat diperhatikan dan didengarnya. Melalui teman sebaya anak dapat belajar menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial, membantu anak-anak mencapai kemandiriannya, dan juga konsep diri anak. Oleh karena itu orang dewasa (guru dan orang tua) perlu mendampingi dan mengawasinya agar anak tidak terpengaruh oleh hal-hal yang negatif.
4) Sekolah, merupakan lembaga yang ikut mempengaruhi perkembangan sosial anak karena salah satu fungsi dari lembaga ini adalah mengembangkan
kemampuan anak untuk dapat hidup bermasyarakat.
5) Status sosial ekonomi, kehidupan sosial anak banyak dipengaruhi oleh kondisi ekonomi keluarganya, Status ekonomi keluarga tentunya akan mempengaruhi norma yang ditanamkan orang tua kepada anaknya, seperti pola hidup sederhana dan cara penampilan anak sehingga hal ini akan mempengaruhi anak dalam memilih teman.
Faktor-faktor tersebut di atas perlu diperhatikan dan dipahami pendidik dalam menyelenggarakan proses pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan pendidik untuk mengembangkan sikap sosial peserta didik menurut Masganti (2012: 124) antara lain
a). melaksanakan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif akan mengembangkan sikap kerjasama dan saling menghargai pada diri peserta
didik, menghargai kemampuan orang lain, dan bersabar dengan sikap orang lain,
b) Pembelajaran kolaboratif. Pembelajaran kolaboratif akan mengembangkan
sikap membantu dan berbagi dalam pembelajaran. Siswa yang pintar bersedia
membantu temannya yang belum memahami materi pelajaran. Model
pembelajaran ini akan menumbuhkan sikap saling menyayangi. Menurut pendapat penulis, disamping melalui dua model pembelajaran tersebut dapat juga dilakukan melalui kegiatan penugasan kepada peserta didik untuk melakukan wawancara kepada orang tokoh masyarakat. Melalui kegiatan ini akan muncul kemampuanuntuk berinteraksi dengan orang yang lebih tua.
d. Perkembangan Moral dan Spiritual
Dalam kehidupan bermasyarakat termasuk masyarakat di lingkungan sekolah
pasti mengenal moralitas, bahkan moralitas ini dijadikan sumber/acuan untuk
menilai suatu tindakan atau perilaku karena moralitas memiliki kriteria nilai (value) yang berimplikasi pada takaran kualitatif, seperti: baik-buruk, benar-salah, pantastidak pantas, wajar-tidak wajar, layak-tidak layak, dan sejenisnya.
Moralitas dalam diri peserta didik dapat tingkat yang paling rendah menuju ke tingkatan yang lebih tinggi seiring dengan kedewasaannya. Kohlberg (dalam Suyanto, 2006: 135), Sunardi dan Imam Sujadi (2016: 7-8) perkembangan moral anak/peserta didik dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu
1) preconventional,
2) Conventional,
3) postconventional.
Tahap Preconventional (6 - 10 th), yang meliputi aspek obedience and punisment orientatation, orientasi anak/peserta didik masih pada konsekvensi fisik dari perbuatan benar-salahnya yaitu hukuman dan kepatuhan atau anak menilai baik– buruk berdasarkan akibat perbuatan; dan aspek naively egoistic orientation; orientasi anak/peserta didik pada instrumen relatif. Perbuatan benar adalah perbuatan yang secara instrumen memuaskan keinginannya sendiri. Kepedualiannya apakah mendatangkan keuntungan atau tidak atau anak menilai baik-buruk bendasarkan kontrak/imbal. jasa. Pada tahap pra konvensional peserta didik memiliki rasa takut akan akibat negatif dari perbuatannya. Tahap Conventional, (10 – 17 th) yang meliputi aspek good boy orientation, orientasi perbuatan yang baik adalah yang menyenangkan, membantu, atau disepakati oleh orang lain. Anak patuh pada karakter tertentu yang dianggap alami, menjadi anak baik, saling berhubungan dan peduli terhadap orang lain atau orang menilai baik-buruk berdasarkan persetujuan orang lain. Aspek authority and social order maintenance orientation; orientasi anak pada aturan dan hukum. Hukum dan perintah penguasa adalah mutlak dan final, penekanan pada kewajiban dan tugas
terkait dengan perannya yang diterima di masyarakat atau orang memilai baikburuk berdasarkan ketertiban sosial.
Dari uraian tersebut dapat ditegaskan bahwa pada tahap conventional peserta didik memiliki perasaan rasa bersalah bila berbeda derbeda dengan orang lain. Tahap post conventional (17 – 28 th), tahap pasca konvensional ini meliputi contractual legalistic orientation, orientasi orang pada legalitas kontrak sosial. Orang mulai peduli pada hak individu, dan yang baik adalah yang disepakati oleh mayoritas masyarakat. Orang menilai baik-buruk, benar-salah berdasarkan hukum yang berlaku. Tahap selanjutnya yang merupakan tahap puncak dari tahap pasca konvensional yaitu tahap conscience or principle orientation, pada tahap ini orientasi orang adalah pada prinsip-prinsip etika yang bersifat universal. Baikburuk harus disesuaikan dengan
tuntutan prinsip-prinsip etika intisari dari prinsip yang sifatnya universal atau
orang menilai baik-buruk berdasarkan hati nurani.
Ketiga tahap perkembangan moral tersebut di atas, akan dialami oleh peserta didik kita, meskipun tidak selalu bertambahnya usia peserta didik juga menyebakan berpindahnya tahap perkembangan moral yang lebih tinggi. Implikasi dari tahap perkembangan moral dalam proses pendidikan antara lain tahap ketiga yaitu post conventional khususnya aspek ke 6 sebaiknya menjadi tujuan yang kita lakukan. Pendidik disamping perlu memahami perkembangan moral peserta didiknya juga perlu dan penting memahami perkembangan spiritualnya. Istilah spiritual pada beberapa tahun terakhir sangat banyak dibicarakan orang manakala dimunculkan istilah kecerdasan spiritual (spiritual intelegence). Kecerdasan spiritual ini bersifat individu dan perlu dikembangkan khususnya dalam proses pembelajaran.
Kecerdasan spiritual menurut Zohar dan Marshal (dalam Mustafa-Alif) meliputi kemampuan untuk menghayati nilai dan makna, memiliki kesadaran diri, fleksibel dan adaftif, cenderung memandang sesuatu holistik, dan cenderung mencari jawaban-jawaban fundamental atas situasi-situasi hidupnya.
Upaya yang dapat dilakukan pendidik untuk mengembangkan sikap religius antara lain dengan:
1) Metode keteladanan, pendidik memberi contoh langsung/menjadi
percontohan kepada peserta didiknya, baik dalam berbicara, berperilaku, maupun lainnya. Melalui percontohan/keteladanan akan lebih berkesan pada peserta didik dibandingkan hanya dengan kata- kata.
2) Metode pembiasaan, metode ini berarti peserta didik diharapkan melakukan perulangan untuk hal-hal yang sifatnya baik, seperti berdoa sebelum melakukan kegiatan belajar, membaca buku,
3) Metode nasehat, pendidik diharapkan memberikan nasihat tentang kebenaran kepada peserta didiknya secara konsisten.
4) Pembinaan akhlak, pendidik diharapkan dapat selalu membina akhlak atau budi pekeri yang mulia peserta didiknya, seperti sikap rendah hati, hormat pada orang yang lebih tua dan sabar.
e. Perkembangan Motorik
Salah satu faktor penting dalam perkembangan individu secara keseluruhan yang perlu dikenali dan dipahami pendidik adalah faktor perkembangan motorik peserta didiknya. Perkembangan motorik menurut Hurlock diartikan perkembangan gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf, dan otot yang terkordinasi. Perkembangan motorik merupakan proses yang sejalan dengan bertambahnya usia secara bertahap dan berkesinambungan, dimana gerakan individu meningkat dari keadaan sederhana, tidak terorganisir, dan tidak terampil, kearah penguasaan keterampilan motorik yang kompleks dan terorganisir dengan baik.
Perkembangan motorik menurut Santrock (2011: 242) dikelompokkkan menjadi motorik kasar dan motorik halus. Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas akan dijelaskan sebagai berikut:
Motorik kasar; gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot besar atau sebagian besar atau seluruh anggota tubuh yang dipengaruhi oleh kematangan anak itu sendiri. Contoh perkembangan motorik kasar anak yaitu, anak pada usia 3 tahun gemar melakukan gerakan seperti melompat, berlari ke depan dan ke belakang. Usia 4 tahun anak masih melakukan gerakan sejenis namun mereka menjadi lebih berani, seperti berani melompat dari tempat tinggi atau bergelantung. Mereka juga berani memanjat alat untuk memperlihatkan kemampuannya. Usia 5 tahun, anak mengembangkan jiwa petualang yang lebih besar lagi dibandingkan dengan ketika ia berusia 4 tahun, mampu berlari dengan kencang dan senang berlomba, seperti balapan lari dan balapan sepeda, usia 6 tahun dapat menggunakan palu. Pada usia 7 tahun tangan-tangan anak sudah lebih mantap, pada usia 10 atau 11 tahun
anak dapat memanjat, melompati tali, berenang, dan dapat memukul bola tenis melewati net. Keterampilan motorik kasar ini banyak melibatkan aktivitas otot, biasanya anak laki-laki lebih unggul dibandingkan anak perempuan.
Motorik halus: gerakan yang menggunakan otot halus, atau sebagian anggota
tubuh tertentu yang dipengaruhi oleh kesempatan untuk belajar dan berlatih.
Perkembangan motorik halus anak usia 3 tahun missal bermain puzzle sederhana, tapi kadang tidak disangka dapat membangun menara tinggi dengan menggunakan balok. Pada usia 4 tahun koordinasi motorik halus sudah memperlihatkan kemajuan yang bersifat substansial dan menjadi lebih cermat.
Pada usia 5 tahun, koordinasi motorik halus anak telah memperlihatkan kemajuan yang lebih jauh lagi. Tangan, lengan, dan tubuh, semuanya bergerak di bawah komando mata. Pada usia 6 tahun, anak dapat menempel, mengikat tali sepatu, mengancingkan pakaian. Pada usia 7 tahun, tangan anak sudah lebih matap. Di usia 7 tahun anak lebih suka menggunakan pensil dibanding menggunakan krayon untuk menulis. Pada usia 8 sampai 10 tahun, tangan anak-anak sudah dapat digunakan secara mandiri dengan lebih tenang dan tepat, anak-anak sudah dapat menulis daripada sekedar mencetak kata-kata. Pada usia 10 sampai 12 tahun anak- anak dapat melakukan gerakan-gerakan kompleks, rumit, dan cepat.
Keterampilan motoric halus biasanya perempuan lebih unggul disbanding anak
laki-laki. Kedua jenis keterampilan motorik sebagaimana dijelaskan di atas, penting untuk dikenali dan dipahami guru agar proses pembelajaran yang dilakukan dapat mengembangkan potensi dan memaksimalkan hasil peserta didiknya. Disamping itu dengan dikenali dan dipahaminya perkembangan motorik anak, pendidik dan sekolah dapat menggunakan strategi pembelajaran, metode yang tepat, dan dapat menyediakan, memanfaatkan alat, media, dan sumber belajar yang memadai.
Sumber. Modul Pendidikan Profesi Guru. Modul 1. Konsep Dasar Ilmu Pendidikan
Penulis. Isniatun Munawaroh, M.Pd.
Penulis. Isniatun Munawaroh, M.Pd.
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق